”Mamaaa! Mama! Dian nakal,” lapor Zidan sepulang bermain sambil menangis.
”Kamu diapain?” tanya mama Zidan dengan muka cemberut dan tampak sangat khawatir.
”Dicubit, Ma,” lapor Zidan masih terisak-isak menangis.
Emosi Mama Zidan ikut naik. ”Kenapa tidak kau balas? Kau kan laki-laki. Sama-sama makan nasi. Kau takut? Tonjok saja kepalanya biar tahu rasa dia!”
Sementara di hari yang berbeda, seorang teman bertutur tentang kasus serupa di sekolahnya. Dua orang anak berkelahi. Tidak tahu persoalan apa yang menjadi pemicunya. Yang pasti mereka berkelahi.
Celakanya seorang di antaranya membawa pulang kejadian di sekolah dan melaporkan kepada orangtuanya. Kasus itu pun tidak berhenti di situ. Yang membuat miris, orangtua itu mendatangi rumah teman anaknya dan kemudian main hakim sendiri. Ditamparinya anak itu hingga tubuhnya terluka.
Persoalan itu pun akhirnya makin rumit. Orangtua si korban tak terima perlakuan itu. Berseterulah mereka hingga kasusnya harus berakhir di meja hijau.
Itu adalah dua contoh kejadian nyata. Barangkali kasus semacam itu juga terjadi di sekitar Anda. Persoalan anak-anak yang menjadikan orangtua ikut terlibat. Tak sedikit yang memicu keretakan hubungan antar tetangga. Padahal sesaat setelah peristiwa pertengkaran itu, anak mereka berdamai dan beteman lagi.
Sementara orangtua masih menyimpan emosinya. Bahkan sampai melarang anaknya bergaul atau berteman tanpa berdasar. Cobalah amati, ketika ada seorang ibu yang berbisik, ”Awas, ibu ingatkan! Kamu tidak boleh bermain sama Anto! Dia itu anak nakal, anak jahat, dan pemalas.”
Ketika si anak menanyakan buktinya, sang ibu hanya bilang, ”Nggak usah banyak tanya! Pokoknya nggak boleh main sama dia.”
Memang, menasihati anak merupakan kewajiban dan bukti rasa sayang orangtua. Sebagai bentuk memberikan perlindungan terhadap anaknya dari sikap negatif maupun bahaya lainnya. Tetapi bila cara ini yang digunakan, secara tidak langsung orangtua tengah memberikan pendidikan diskriminasi.
Lantas, apa yang harus dilakukan orangtua? Bagaimana pula cara menyikapinya ketika anak mengadukan teman mainnya?
Pertama, hindari bersikap berlebihan terhadap apa saja yang diadukan anak. Janganlah sampai marah-marah yang mengesankan membela sehingga si anak akan semakin manja. Apalagi jika sampai bertindak melakukan pembelaan dengan cara membalas anak yang diadukan itu. Bersikaplah tenang, tetap dengarkan semua aduan itu sehingga mereka merasa diperhatikan.
Kedua, ceritakan betapa pentingnya seorang teman. Sehingga anak-anak tumbuh menjadi seorang yang memiliki kebutuhan terhadap teman. Berikanlah pernyataan-pernyataan tentang makna seorang teman dan makna berteman. Misalnya, sahabat sejati adalah mereka yang memahami kita di saat duka maupun gembira, persahabatan bagai kepompong, atau pernyataan lain tentang makna persahabatan. Ketika anak tidak memahami makna pernyataan-pernyataan tersebut, anak akan tertarik untuk bertanya. Itulah waktu terbaik untuk menjelaskan dengan bahasa yang sederhana agar anak dapat memahami makna pernyataan tentang persahabatan. Berikan pula contoh-contoh dalam kehidupan kita sehari-hari.
Ketiga, ceritakanlah kebaikan teman mereka. Agar anak kita dapat berteman dan bersosialisasi dengan orang lain maka jangan membiasakan menceritakan tentang keburukan dan kenakalan temannya. Menceritakan kejelekan teman lain dapat membangun ketidaksenangan dan kebencian kepada teman. Hal ini akan memiliki dampak yang tidak baik dalam pembentukan karakter anak.
Keempat, ajari anak berteman dengan siapa pun. Tidak memilih-milih yang mengesankan ketidakadilan. Memang perlu hati-hati dalam berteman, tapi jangan sampai bersikap berlebihan. Biarkan mereka mengetahui hal yang baik dan tidak baik dengan sendirinya. Karena pengalaman anak akan berdampak lebih baik dibandingkan dengan pemberitahuan orang tua.
Kelima, ceritakan dongeng tentang kisah persahabatan. Bisa kita ceritakan langsung atau beri buku cerita. Buku cerita yang bertema persahabatan umumnya menampilkan kesalahpahaman, kecurigaan, yang akan berakhir dengan kesadaran untuk saling bersahabat. Nah, dengan banyak menceritakan tema persahabatan diharapkan anak memahami makna bersahabat.
Keenam, ajari anak tentang perbedaan. Tuhan menciptakan manusia dengan segala perbedaan. Berikan kepada mereka konsep kesamaan hak hidup. Yang pasti mereka perlu kita bekali diri untuk bisa mencegah terhadap hal yang negatif tanpa harus menyalahkan teman lain.
Jika kita ajari dengan konsep-konsep di atas, anak-anak akan memiliki kesetaraan dengan orang lain, tidak menjadi sombong, dan merasa lebih hebat dari orang lain. Dengan begitu mereka akan diterima dalam bersosialisasi dan berteman dengan siapa saja. (Riyadi-Pendidik di SDN 1 Kediri UPK Karanglewas, Kabupaten Banyumas, Pegiat literasi di KOMPAK)
Artikel sudah termuat di https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/