MUDIPAT.CO – Mengerjakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan apakah cukup menjadi jaminan masuk surga? Demikianlah topik yang diulas dalam kajian tafsir kali ini, Jumat (13/9/2024). Kajian yang mengupas Hadits Arbain An Nawawiyah ke-22 ini diasuh oleh Ustadz Drs. H. Ahmad Barir, Msi.
Mengawali kajian, Ustadz Barir membacakan bunyi hadits beserta terjemahnya. “Dari Abu ‘Abdillah Jarir bin ‘Abdillah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Bagaimana pendapat Anda (kabarkan padaku), apabila aku mengerjakan shalat-shalat fardhu, puasa di bulan Ramadhan, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan aku tidak menambahnya sedikit pun dari itu, apakah aku akan masuk surga?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” (HR. Muslim).
Berikutnya Ustadz Barir menyampaikan, hadits ini menceritakan seorang laki-laki yang datang dan bertanya kepada Rasulullah tentang amalan-amalan yang dapat menyebabkan masuk surga. Amalan tersebut anatara lain, mengerjakan shalat fardhu, puasa di bulan Ramadhan, menghalalkan yang halal, dan mengharamkan yang haram. “Maka dengan lugas Rasulullah menjawab, ya,” ucapnya.
Ustadz Barir pun menjelaskan makna dari hadits tersebut dengan rinci. Orang yang hanya melaksanakan shalat lima waktu itu tidak tercela, juga bukan penghalang baginya masuk surga. Namun yang perlu ditegaskan, jika mampu mengerjakan yang wajib, kerjakan juga yang sunah. “Sebab yang wajib saja belum tentu menjadi garansi bisa masuk surga,”ungkapnya.
Sedangkan untuk puasa, secara etimologi artinya menahan. Menahan dari hal-hal yang tidak diperbolehkan saat berpuasa menurut syari. Contohnya makan dan minum. Contoh puasa yang bukan syari adalah puasanya orang yang sakit. Ada beberapa orang berpuasa sebelum diperiksa atau sebelum diberi tindakan tertentu oleh dokter. Setelah diperiksa sudah boleh tidak puasa.
Sedangkan penjelasan menjauhi yang haram, menjauhi yang haram dengan meyakini keharamannya, maka bernilai ibadah.Ustadz Barir pun memisalkan jika ada seseorang yang tidak minum khamr karena untuk menjaga dirinya, makai a tidak berdosa. Namun jika ia tidak meminum khamr karena yakin khamr itu haram, maka ia akan mendapat pahala.
Dari hadits ini dapat diambil hikmah, pertama orang yang beriman pasti akan mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi laranagan. Kedua, jika kita tidak tahu, harus bertanya. Ketiga, puncak harapan untuk meraih surga, dengan ibadah-ibadah yang baik, bukan banyaknya harta atau keturunan untuk meraihnya. Keempat, Allah akan memberi kenikmatan yang lebih dari pada apa yang kita harapkan.(Azizah)