MUDIPAT.CO – Pak Malik Fadjar memiliki teologi begini, 60 persen sekolah Muhammadiyah itu menjadikan nama Muhammadiyah sebagai jaminan sehingga sekolah itu kualitasnya bagus.
Demikian disampaikan Prof. Dr. Biyanto, M.Ag. (Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur) memberikan keynote speech pada acara The 5th ACCESS (Academic Enlightening Session) HOTS (Higher Order of Thinking Skill) Again; Learning & Practice. Acara digelar di Auditorium TMB Mudipat, Sabtu (4/1/2020). Prof. Biyanto menyampaikan materi “Becoming A Good Muhammadiyah Teacher and Employee”.
“Kalau sekolah Muhammadiyah tidak bagus pasti ada masalah! Karena sekolah Muhammadiyah sudah punya jaminan bagus. Apalagi sekolah Muhammadiyah punya tradisi melampaui standar dari pemerintah,” ujarnya.
Biyanto menyampaikan bahwa pendidikan era TK harus di-recall di SD. “Dari buku All I Really Need to Know I Learned in Kindergarten, tulisan Robert Fulghum yang saya beli di lowakan buku Singapura, pelajaran TK yang menarik yaitu yaitu berbagi, sportif, jangan memukul, mengembalikan barang ke tempatnya, menjaga kebersihan, dan jangan mengambil yang bukan hakmu, mengucapkan maaf, cuci tangan sebelum makan, bersemangat, makan yang bergizi, hidup seimbang,” terangnya.
Menurut Prof. Biyanto, anak-anak pun harus diajari 5 pondasi Islam seperti tauhid yang murni, memahami Alquran dan Sunnah secara mendalam, melembagakan amal salih yang solutif, berorientasi kekinian, bersikap toleran, moderat, dan suka kerja sama.
Mantan Ketua Majelis Dikdasmen PWM Jatim itu pun merekomendasikan buku karya Soekarno berjudul Islam Sontoloyo. “Isinya menarik, salah satunya adalah orang Islam tidak boleh mudah mengkafirkan. Kalau kata KH Yunahar (alm), tugas dai adalah merangkul bukan mengkafirkan,” katanya.
Dosen UIN Sunan Ampel itu pun menyampaikan tabel Becoming Muhammadiyah dalam slide-nya yang berisi tentang tiga tingkatan guru Muhamamdiyah.
Pertama, guru Muhammadiyah harus bergabung dalam kegiatan/amal usaha, terdaftar resmi sebagai enggota, dan pejuang/mujahid Muhammadiyah. Atau hanya menjadi pengembira.
“Kira-kira guru Mudipat ini masuk yang mana ya? Aktivis atau hanya sekadar simpatisan? Tapi saya sengaja tidak menyantumkan ‘penggembira’ karena ia hanya bergembira kalau Muhammadiyah memutuskan Idul Fitrinya lebih dulu,” kelakarnya. Gelegar tawa pun memenuhi auditorium Prof Din Syamsuddin pagi itu. (erfin)