MUDIPAT.CO – Istilah kafir adalah sebutan bagi orang yang tidak beriman atau mengingkari Allah. Istilah ini bukan sebutan dari manusia tapi sebutan itu dari Allah. Sebutan kafir tersebut karena perbuatan mereka mengingkari Allah. Demikian penjelasan awal dari Ustadz Dr.H.M. Sholihin, S.Ag, MPSDM dalam kajian tafsir rutin untuk guru dan karyawan SD Muhammadiyah 4 (Mudipat) Surabaya, Jumat (7/2/2025).
Kajian kali ini mengupas Surat Al Maidah 86-89. Terjemahan dari ayat tersebut, “Dan orang-orang kafir serta mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
“Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”
Dalam penjelasannya, Ustadz Sholihin menjabarkan jika orang kafir tersebut selain tidak beriman kepada Allah juga mengingkari Alquran. Maka mereka membuat kitab-kitab sesuai versi mereka dan masih meyakini kitab-kitab sebelum Alquran diturunkan. “Padahal kitab-kitab yang diturunkan sebelum Alquran sudah tidak berlaku lagi, karena sudah disempurnakan dalam Alquran. Termasuk agama sebelum Islam tidak berlaku lagi karena sudah disempurnakan menjadi agama Islam,” jelasnya.
Dalam ayat berikutnya, Ustadz Sholihin juga menegaskan bahwa sesuatu ketentuan halal- haram itu sudah ditentukan oleh Allah dan rasulnya. Oleh karena itu kita tidak boleh mengharamkan sesuatu yang halal secara pribadi maupun sebaliknya. Baik dalam bentuk makanan atau perbuatan. Ketentuan halal-haram itu bukan wewenang kita. Jika itu kita lakukan, maka kita termasuk orang yang melampaui batas.
Ia pun memberi contoh, misalnya mengucapkan saya haram makan nasi atau saya haram melakukan ini dan itu, padahal Allah dan Rasulullah tidak pernah melarang. “Perbuatan itu termasuk melampaui batas,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia menjabarkan hal lain yang termasuk melampaui adalah mengubah atau menambah ajaran agama. Misalnya, melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah diperintahkan Allah atau tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah.
Berkaitan dengan dendan atau kaffarat bagi orang yang melanggar sumpah, seperti pada ayat 89, Ustadz Sholihin menjelaskan ada tiga (3), yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Namun, jika orang tersebut tidak sanggup melakukan dari ketiga hal tersebut, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut.
Ia pun menegaskan sebagai orang yang beriman maka pantang melanggar sumpah, sumpah harus ditepati. Namun jika benar-benar melanggar sumpah, maka sudah menjadi kewajiban untuk melaksanakan kaffarat sesuai dengan yang ditentukan oleh Allah dan Rasulullah. Ia melanjukan, ketentuan beragama, termasuk yang diajarkan Muhammadiyah adalah harus sesuai ketentuan Allah, sesuai contoh dari rasul, dan dikerjakan ikhlas karena Allah.
“Tiga hal tersebut yang harus diingat dan dilaksanakan, pasti selamat dunia akhirat,”ucapnya. (Azizah)