Oleh: Erfin Walida Rahmania, S.Pd.I. (Walas 3-I/Sekretaris Humas SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya)
Bismillahirrahmanirrahiim
Yang saya banggakan, Bunda/Ayah wali murid.
Sudahkah melihat rapor ananda? Mari tersenyum dan simpan lembaran tersebut rapat-rapat.
Menjelang penerimaan rapor, kami kerap diwaduli murid-murid begini, “Kalau aku dapat nilai 80 bisa dihukum nih, Ustadzah!” Hingga, “Pokoknya ganti nilai saya di atas 80 bagaimana pun caranya!” Sesungguhnya kami ingin menangis tiap mendengar mereka mengeluh demikian.
Bunda, Ayah. Sesungguhnya nilai tersebut bukan ukuran kesuksesan belajar ananda. Sistem pendidikan kita lah yang masih memaksa kami untuk mengukur keberhasilan ananda dengan angka.
Untuk menghasilkan angka tersebut, kami harus menyelenggarakan ujian. Ujian yang mengharuskan ananda memberi jawaban paling benar. Tak boleh berbuat salah. Salah sedikit dikurangi nilainya. Padahal, ada ribuan kemungkinan jawaban di setiap persoalan dalam hidup. Tidak related, memang. Tapi inilah sistem pendidikan kita.
Dari sanalah ananda lebih banyak takut melangkah. Tak berani mencoba. Tak percaya diri mengungkapkan pendapat yang berbeda. Bukankah Galileo Galilei yang pernah dibunuh gereja Katolik itu mengatakan bidah yang nyeleneh, tapi pemikirannya menjadi keyakinan tiap insan di zaman ini?
Bunda, Ayah. Tak perlu takut kalau tulisan remidi menghiasi lembaran yang Bunda/Ayah terima hari ini. Berapa banyak orang yang katanya gagal di sekolah kini menjadi CEO perusahaan ternama. Steve Jobs, misalnya. Pria yang sempat drop out dari sekolah tersebut kini jadi CEO ponsel ternama yang digenggam banyak orang. Termasuk kita.
Jangan khawatir, Bunda, Ayah. Kami tak berkata demikian pada ananda. Karena kalimat tersebut kemungkinan belum bisa mereka maknai secara bijak. Namun, bukan lantas kami tak mengajari apa-apa dan membiarkan ananda belajar serampangan.
Kami berproses bersama mereka mempelajari makna sabar, syukur, jujur, cinta sesama, menghargai perbedaan, serta nilai utama lainnya melalui pelajaran-pelajaran itu. Juga memantik mereka untuk selalu bertanya, berpikir kritis, tak enggan berkolaborasi, dan berlatih memadamkan ego diri sendiri.
Kita semua setuju bahwa nilai-nilai (baca: value) tersebut penting untuk mempersiapkan kehidupan ananda selanjutnya. Maka, mari mengubah fokus utama kita. Dari number oriented menjadi value oriented. Dari berapa menjadi bagaimana.
Maka, saat datang ke sekolah untuk mengambil rapor. Mari mendiskusikan bagaimana perkembangan sikap ananda. Kebiasaan baik apa yang juga perlu dibiasakan di rumah. Perilaku baik apa yang ia dapat setelah proses belajar yang tak singkat itu.
Dengan bantuan bimbingan Bunda dan Ayah di rumah, kami menjamin ananda tumbuh dengan akhlaqul karimah. Kokoh aqidah dan rajin beribadah. Rendah hati serta dewasa dalam bersikap.
Akhirnya, kami tak menyalahkan sistem.
Tapi saat sistem pendidikan ini berubah menjadi memanusiakan ananda, pastinya kami akan sangat berbahagia.
Bunda dan Ayah. Mari melapangkan dada dan berbijaksana. Kolaborasi bersama dengan kami untuk membersamai ananda tumbuh cerdas bahagia. Semoga Allah memudahkan ikhtiar kita bersama. Bismillah.
Oiya, sudah disimpan rapornya? Kini saatnya memeluk ananda dan berbisik lembut, “Nak, Mama Papa siap mendukung setiap kebaikan yang kamu lakukan. Ayo berbuat baik bareng!”
Hormat kami, Teman sekaligus orang tua ananda di sekolah. (*)