MUDIPAT.CO – Hari kedua The Annual Meeting atau Rapat Kerja (Raker) Academic Year 2021/2022 SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya (Mudipat) dihadiri oleh Prof Dr Zainuddin Maliki MSi. Anggota Komisi X DPR itu menjadi keynote speaker secara daring, Sabtu (3/4/2021).
Kepada para guru dan karyawan Mudipat, Prof Zainuddin menyatakan pentingnya peta jalan pendidikan. Beberapa waktu lalu, komisi X DPR meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim membuat peta jalan pendidikan (PJP).
“PJP diperlukan karena Mas Menteri Nadiem mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru seperti menghapus UN, RPP hanya satu lembar, dan lain-lain,” ujarnya.
Prof Zainuddin kembali mengingatkan pentingnya tujuan pendidikan sebagaimana amanat undang-undang. Yakni, mencerdaskan umat bangsa, memanusiakan manusia, dan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Hilangkan Frasa “Agama” di PJP
Namun, kata Prof Zainuddin, di profil pelajar Pancasila yang diserahkan kepada Komisi X DPR adalah menciptakan masyarakat unggul berdasarkan budaya dan Pancasila. “Tidak ada agamanya (dalam peta jalan pendidikan, Red),” kritik mantan rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.
“Prof Haedar Nashir (ketua umum PP Muhammadiyah, Red) juga mengoreksi mengapa nilai agama absen dari visi pendidikan,” cetusnya. “Akhirnya, saya mengoreksi untuk memasukkan agama ke dalam profil pelajar Pancasila,” tambahnya.
Selanjutnya, Prof Zainuddin mengajak guru dan karyawan Mudipat untuk mengetahui filosofi pendidikan Indonesia hendak diarahkan ke mana. Bukan sekadar mendekatkan ke dunia industri saja, tapi mengantarkan anak didik untuk menjadikan manusia yang beriman, berwawasan global, dan menguasai teknologi.
Bahaya Learning Loss
Terkait dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi, Prof Zainuddin mengatakan bahwa PJJ memang bisa membawa pada apa yang kita khawatirkan, yakni learning loss. Anak-anak tidak mengalami proses pembelajaran langsung seperti semula.
“Mereka disebut juga generasi rebahan. Mendengar pelajaran sambil rebahan,” tutur profesor ilmu sosial tersebut.
Tak dapat dielak bahwa saat tatap muka saja banyak guru yang belum bisa mendesain pembelajaran dengan baik. Sehingga anak didik kita seolah-olah belajar. Sebab, gurunya juga seolah-olah mengajar. “Guru hadir di depan kelas dengan metode ceramah saja, anak didik kita seperti mendengar, padahal tidak. Seperti belajar, padahal tidak sedang belajar. Itulah pendidikan seolah-olah,” jelasnya.
Menurut anggota DPR Fraksi PAN tersebut, metode yang baik adalah metode SAFI. Apa itu? “Somasi, auditori, fisualisasi, dan intelektual. Empat modalitas yang harus diaktifkan agar benar-benar terjadi pembelajaran,” tegasnya.
Pembelajaran daring ini, kata dia, mengusahakan keberlangsungan pembelajaran melalui berbagai platform daring. Nyatanya, praktiknya semakin jauh dari yang diharapkan. “Kita khawatir, pandemi ini menjadikan learning loss. Yang lebih bahaya lagi adalah generation loss,” lanjutnya.
Mendikbud memutuskan untuk membuka kelas dengan pembelajaran tatap muka pada tahun ajaran baru mendatang. Namun, ingat Prof Zainuddin, dari laporan penanganan covid-19 menunjukkan positive rate-nya semakin bertambah. Karena itu, Prof Zainuddin meminta agar sekolah mempersiapkan secara matang.
Prof Zainuddin kembali mengingatkan kepada guru-guru jangan hanya menjadi guru yang mengajarnya seolah-olah. Supaya tidak mencetak siswa yang juga seolah-olah. Maka, guru harus mampu mengemas pembelajaran otentik agar menghasilkan lulusan otentik pula.
“Artinya, kalau kita belajar berenang ya di kolam, belajar bahasa Inggris ya ngomong. Artinya mengalami. Ini yang perlu dilaksanakan guru kita. Seperti konsep Ki Hajar Dewantara, ing ngarsa sung tuladha, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani,” jelasnya. (Erfin/AS)