MUDIPAT.CO – ”Ada sebuah realitas di masyarakat kita di mana penyikapan terhadap virus korona ini sangat berbeda-beda. Ada yang menyikapi secara jabariah bahwa ini semua adalah bagian dari musibah. Sebagian ada yang menyebut azab. Tapi, Muhammadiyah menyebut ini adalah ujian,” ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu’ti MEd membuka tausiah dalam Silaturrahim Syawal 1441 H Muhammadiyah Kota Surabaya secara virtual dengan tema Meneguhkan Dakwah Muhammadiyah di Era New Normal, Kamis (28/5/2020).
Ujian di Tengah Pandemi
Pertama, kata Mu’ti, ujian atas keimanan kita. Kita meyakini dan menyadari segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sesuai dengan kehendak Allah. Maka, Covid-19 ini seharusnya menjadikan kita semakin yakin dengan kebenaran firman Allah.
”Yang kedua adalah ujian atas soliditas kita sebagai warga persyarikatan dan bangsa Indonesia. Karena biasanya ketika ada ujian, kita bisa saja jatuh pada perpecahan karena banyaknya perdebatan dan persoalan yang kita hadapi,” tegasnya.
Yang ketiga, lanjut Mu’ti, ujian atas kekuatan organisasi kita. Lalu, keempat, ini bagian dari cara Allah meningkatkan kualitas kita. ”Ibarat ujian sekolah, Covid-19 ini akan memberi kita kesempatan untuk naik kelas. Kesempatan jadi bangsa yang lebih maju dan memiliki ilmu pengetahuan,” terang dosen UIN Syarif Hidayatullah itu.
Fungsi Ilmu Pengetahuan
Ada tiga fungsi ilmu pengetahuan. Pertama, kata dia, fungsi ilmu untuk mendeskripsikan segala sesuatu yang terjadi. Bagaimana mengerti korona adalah penjelasan para ilmuwan. Kedua, fungsi ilmu itu menjelaskan sesuatu, baik dari sisi prosesnya maupun filosofinya.
”Dan ketiga, punya fungsi preskripsi. Memberikan panduan kepada manusia apa yang harus mereka lakukan. Dalam kaitan kita beragama, Muhammadiyah sejak awal sebagai gerakan Islam berkemajuan positif terhadap ilmu dan menjadikan ilmu sebagai salah satu pemandu kita untuk melaksanakan agama dengan sebaik-baiknya,” terang pria asli Kudus, Jawa Tengah, itu.
Abdul Mu’ti menambahkan, Covid-19 juga bisa menjadi titik awal untuk mencari solusi dan mengembangkan kajian-kajian. ”Kita tidak bisa menyikapi dengan fatalistis, tapi juga harus konstruktif. Ada yang bilang konspirasi, kemudian menyalah-nyalahkan kelompok lain, tapi tidak mencari solusi,” tegas dia.
”Saya kira itu bukan karakter Muhammadiyah. Muhammadiyah senantiasa melihat sesuatu secara positif dan kemudian mencari solusi secara konstruktif bagaimana agar persoalan ini dapat kita selesaikan,” lanjutnya.
Mu’ti melanjutkan, selama pandemi Covid-19 ini, kemuhammadiyah dan keislaman bisa menjadi uswah dan qudwah bagi kelompok masyarakat secara keseluruhan. ”Melalui jaringan rumah sakitnya memberikan pelayanan kepada masyarakat terdampak korona dan kemudian dengan kekuatan organisasinya langsung menghimpun gerakan, mulai pusat sampai tingkat ranting. Ilmuwan kita juga mengembangkan ilmu dan kajian-kajian,” katanya.
Hati-Hati dengan New Normal
Terkait dengan new normal, Mu’ti melanjutkan, wacana yang disampaikan pemerintah itu harus disikapi dengan hati-hati. Sebab, menurut ahli, puncak pandemi terjadi akhir Mei sampai pertengahan Juni. ”Kalau sekarang pemerintah melakukan relaksasi, itu terlalu dini dan terlalu berisko. Menteri agama mau membuka masji dan pesantren itu sangat berisiko,” ujarnya.
New normal atau yang dalam bahasa Abdul Mu’ti new reality tidak boleh menimbulkan tafsir yang macam-macam. Misalnya, mal buka, tapi masjid masih tutup. Itu akan menjadikan gesekan di masyarakat.
”Jika memang memutuskan seperti itu, harus ada panduan kepada masyarakat supaya tidak semakin galau dan resah sehingga membuat tafsir sendiri-sendiri. Masyarakat perlu penjelasan dari pemerintah. Pemerintah sebagai ulil amri harus menghilangkan kontroversi, bukan malah menimbulkan kontroversi,” tandasnya. (klikmu)